Minggu, 10 Januari 2010

Agus Katro Melukis Jalanan



“Jalanan adalah rumah bagi saya”
Pelukis gondrong yang terkenal dengan gayanya yang sangat spontan dan eksentrik ini sudah puluhan tahun malang-melintang di kehidupan jalanan. Sekian banyak pameran diikutinya, baik berskala lokal-regional, maupun nasional. Ada juga karya-karya Agus Katro yang dikoleksi oleh beberapa museum dan Galeri di Luar negeri, seperti Belanda, Jerman, New Zealand dan Amerika.
Bila anda berkunjung ke pasar senthir Malioboro, nama Agus katro sudah tidak asing lagi di kalangan para pedagang sepeda antik. Apalagi kalau anda berkunjung ke Pasar Kembang. Tapi jangan salah, jangan berburuk sangka dulu. Di kawasan yang terkenal dengan image wilayah “X” ini Agus berkesenian. Kesenian macam apakah yang dilakukan di sekitaran pasar kembang?
Malam itu akhirnya saya bisa bertemu dengan Mas Agus Katro di rumahnya yang terletak di daerah Mrisi, sebelan selatan pabrik gula Madukismo. Sulit menemui seniman yang satu ini, kesibukannya bukan hanya melukis, belakangan ia sangat intens memberi workshop menggambar untuk anak-anak kecil yang tinggal di sekitaran Pasar Kembang.
Agus Katro adalah nama beken dari Agus Suyamto. Pria kelahiran Solo 16 Desember 1968 ini sejak kecil memang hobi menggambar. Tak jarang orangtuanya harus repot menghapus coretan-coretan yang dibuat Agus di berbagai sudut rumahnya. “sejak kecil saya ini nggak punya cita-cita”, ungkapnya ketika ditanya tentang cita-cita sewaktu kecil. Ketika SMA Agus sempat mendaftar menjadi tentara, itupun karena permintaan orangtua. Alhasil uang sepuluh juta rupiah yang jelas cukup besar waktu itu hanya melayang percuma.”Jaman segitu pakai pelicin sepuluh juta, eh ternyata malah gagal”.
Lagi-lagi orangtuanya meminta Agus menjadi pengabdi negara. Kali ini berbeda, orang tua Agus memintanya untuk mendaftar di Dinas Kesehatan. Agus yang terlanjur patah hati karena tidak diterima menjadi tentara menolak dengan tegas keinginan orangtuanya. Keputusasaan sempat menyelimuti pikiran Agus, hingga akhirnya ia memutuskan untuk berkesenian. Apalagi kalau bukan tentangan dari keluarga yang didapat Agus. Bagi orangtua di jaman itu menjadi pegawai negeri adalah tolak ukur prestise dan kemapanan. Bahkan sampai sekarang.
Dengan berat hati kedua orangtuanya membiarkan Agus berkuliah di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Solo mengambil jurusan Tata Rupa Panggung. Hanya bertahan satu tahun, Agus merasakan banyak benturan, mulai dari ia merasa jurusan yang ia pilih dirasa tidak sesuai dengan keinginannya yang lebih ingin menjadi pelukis, keluarga yang setengah hati membiayai, sampai hal-hal yang baginya sangat ideologis dalam proses berkeseniannya waktu itu. Agus ingin menjadi pelukis!

Berbekal Sepuluh Ribu Rupiah Nekat ke Jakarta
Sekitar tahun 1991 Agus nekat hijrah ke Jakarta. Pertama kali sampai di Jakarta, ia tinggal di sekitaran pondok bambu. Hanya berbekal uang sepuluh ribu rupiah yang ia dapat dari ibunya ia jelajahi kerasnya jalanan Jakarta. Mulai dari berjualan permen, menjadi pengasong koran, kuli bangunan, tukang adu ayam, dan berbagai pekerjaan lain yang dijalaninya untuk sekedar bertahan hidup dan melukis.
Setiap mendapat uang dari bekerja ia belikan peralatan lukis dan makan. Sisa membeli peralatan lukis dan makan selalu diberikan pada orang-orang di sekitarnya. “Semua orang yang hidup di jalan itu saudara saya mas, seluruh Jakarta itu rumah saya. Lhah wong tidurnya sak enake dhewe kok.”. Tak jarang Agus memilih menahan lapar untuk orang lain yang dipandang lebih menderita dibandingkan dirinya.
Sekitar tahun 92 Agus memutuskan untuk bekerja sebagai pelukis jalanan. Ia menggelar jasa lukis foto di sekitar Blok-M. Pada awalnya tak jarang ia harus berurusan dengan preman sekitar Blok-M.”Hampir setiap hari saya berkelahi, ya apa boleh buat”. Setelah diterima sebagai “orang Blok-M”, Agus mengalami benturan lagi. Kawan-kawannya sesama pelukis jalanan mengganggapnya terlalu idealis dan tidak cocok melukis di jalan. Berbagai kritikan pedas tak membuat Agus berkecil hati, justru sebaliknya, hal itu memacu Agus untuk terus belajar dan berjuang.

Di Bali Saya Lahir sebagai Pelukis

 Tahun 1993 Agus memutuskan untuk hijrah ke Bali. Ia mengaku tak pernah tahu di mana dan seperti apa Bali. Ia hanya pernah mendengar dari kawan-kawannya sesama pelukis jalanan, bahwa Bali adalah sarangnya pelukis hebat.
Dengan modal nekat ia berangkat ke Bali. Sesampainya di terminal Ubung, Agus berkenal dengan Made Cun, salah satu preman terminal yang mengantarkannya ke Ubud. Made Cun mengatakan bahwa Ubud adalah salah satu daerah di Bali yang menjadi gudangnya pelukis dan galeri.
Di Ubud ia mengenal beberapa pelukis sesama perantau, seperti Badrus, Soni, Yoyok, Murita dan lain-lain. Ketika awal di Bali Agus tinggal tidak menetap, kadang menumpang di tempat teman sesama pelukis, tapi seringkali juga tidur di jalanan. Entah emper toko, pasar atau tempat apapun asal bisa untuk tidur, ungkap Agus. “Awal di Bali, hidup saya jauh lebih berat daripada di Jakarta, Satu hari bisa makan sekali saja sudah bagus. Kadang malah dua atau tiga hari baru bisa makan. Tergantung lukisan laku apa tidak.” Berbagai cobaan yang terpaksa membuat Agus hidup prihatin justru menjadi energi dan semangat bagi Agus untuk tetap melukis.
 “Saya itu lahir sebagai pelukis ya di Bali”. Bila sebelumnya Agus hanya sekadar melukis, lain di Bali. Agus mulai mengenal aliran-aliran dalam lukisan dan berbagai teknik atau gaya melukis. Persinggungan Agus dengan banyak pelukis di Bali, mulai membuka mata Agus tentang perspektif melukis dan berkesenian. Hampir dua tahun di Bali, baru Agus mampu untuk kos dan hidup lebih dari cukup untuk ukurannya pada saat itu. Tapi tetap Agus tidak pernah lupa dengan jalanan. Ia selalu memberikan lebih dari sebagian rejekinya untuk orang-orang jalanan.
Awalnya Agus asyik menekuni gaya impresionisme, sempat beralih ke abstrak, hingga akhirnya ia nikmat dengan gaya naïf figuratif. Tema dan figur yang muncul di lukisannya, selalu tema-tema urban, problematika masyarakat kelas bawah dan berbagai persoalan sosial yang dirasa dekat dengannya. Jalanan menjadi sumber rumah, sekaligus sumber inspirasi baginya.
Tahun 98 ia menikah dengan pelukis asal Iran yang bernama Nasim. Perkenalan yang hanya berlangsung selama tiga bulan bukan waktu yang singkat untuk saling mengenal dan memutuskan untuk membuat ikatan kehidupan yang lebih serius.
Mereka hidup sebagai dua seniman eksentrik dengan orientasi sosial yang tinggi. Pernikahan dengan Nasim tidak membuat Agus berubah, jalanan tetap menjadi segalanya bagi Agus.. Menurut Nasim, justru karena itulah ia sangat mencintai Agus. Baginya ia suami yang spontan, berhati besar, sehingga sering tidak menggunakan pikirannya dalam bertindak untuk hal-hal yang bersifat sosial. “bagi saya di situlah sebenarnya esensi berkesenian’ tutur pelukis tamatan salah satu universitas seni terkemuka di Belanda ini. Ketika kita mampu berbesar hati menangkap dan merespons kondisi sosial dengan spontan (rasa), daripada pikiran. Meletakkan ego sebagai seniman dan melukis dengan sikap dan perbuatan.
13 tahun dirasa cukup bagi Agus menimba ilmu dan menimba hidup di Bali. Akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan proses berkeseniannya di Yogyakarta.

Saya menemukan Yogyakarta di Pasar Kembang (Sarkem)
Teh suguhan dari Agus sudah hampir tandas, tapi dia masih begitu berapi-api menceritakan perjalanan hidupnya. “Saya juga nggak tahu mas, dari dulu saya itu nggak pernah mikir masa depan, bahkan saya itu sering nggak makan kok, yang penting bisa beli cat, terus sisanya buat orang lain.hahaha”. Agus mengutarakan itu dengan sangat spontan.
Agus memutuskan ke Yogyakarta. Menurut Agus Yogyakarta memiliki aura berkesenian yang lain dan sangat berbeda dengan Bali. Tak bisa dipungkiri sejarah seni lukis Yogyakarta memang sangat luar biasa. Orang-orang semacam Affandi, Basuki Abdullah dan sejumlah nama besar lainnya menempuh prosesnya di Yogyakarta.
Memang pada kenyataannya, sekarang ini banyak sekali terjadi monopoli pasar dan hegemoni dari kelompok-kelompok tertentu, tetapi bagi Agus itu hanya dinamika dari proses berkesenian. “Obsesi saya tetap jadi orang terkenal dan profesional mas, tapi saya nggak akan lupa sama jalanan”.
Agus juga tidak begitu ingat, sejak kapan dia asyik dengan suasana di sarkem. Baginya sarkem adalah tempat yang sangat inspiratif. Agus mengungkapkan, bahwa justru di Sarkem ia banyak belajar tentang hidup. Tentang janda berusia 18 tahun yang harus menghidupi dua anaknya, tentang istri yang memang “dijual” suaminya, tentang anak berusia 14 tahun yang harus merelakan kegadisannya sekedar untuk makan. Masih banyak lagi tentunya serangkaian kisah satir lainnya.
Di Sarkem Agus tidak sekedar melukis dan mengajari siapapun yang ingin belajar melukis, seperti kebiasaannya ketika hidup di Jakarta dan Bali, seringkali Agus membagikan sedikit rejekinya untuk orang-orang di sekitar sarkem. Ia sering tidak tega melihat perempuan malam di sana. “Kalau nggak laku ya, kasihan juga Mas, kadang mereka itu seharian juga bisa nggak makan kok mas. Kalau saya punya uang ya saya belikan sego kucing, kalau nggak punya ya  sama-sama laparnya.”
“Saya itu menemukan Yogyakarta ya di Sarkem”. Menurut Agus,,kehidupan di Sarkem lebih menyedihkan, daripada di tempat-tempat lain. Orang-orang di Sarkem adalah orang-orang yang nekat bertahan hidup. Sama seperi seniman. Sebagian besar masyarakat masih belum bisa menerima pekerjaan sebagai seniman. Mirip juga dengan pelacur. Saya berproses yang di jalan, ya di sarkem, ya di mana saja. Yang penting saya bisa melukis dan membuat orang lain senang.
Melukis itu nggak hanya di kanvas, jalanan juga saya lukis!


Seniman dan Realitas Sosial

            Tak beda dengan sebuah profesi konvensional lainnya, berkesenian juga merupakan sebuah pilihan logis untuk memenuhi kebutuhan hidup. Menurut Putu Wijaya, ketika menjadi seniman selayaknya berpikir idealis, tetapi tetap realistis. Tentu, ketika idealisme dan kebutuhan domestik dapat bersinergi, maka lengkaplah hidup seorang seniman.Benarkah itu? Lalu bagaimanakah dengan ruang sosial yang lebih luas?
Siapa yang tak kenal dengan Djoko Pekik, pelukis tua yang terkenal lewat lukisan babinya, tepat ketika lengsernya rezim Soeharto.. Sekitar tahun 60-an Djoko Pekik bersama kawan-kawannya mendirikan Sanggar Bumi Tarung, sebuah sanggar yang berisi para pelukis dan para perupa yang disingkirkan dengan begitu naïf oleh kungkungan orde baru. Sanggar ini memiliki prinsip bahwa seorang seniman harus tetap turun ke bawah untuk “merasai dan benar-benar memberikan solusi secara lebih konkret dan langsung”.
            Dalam tradisi Aristotelian, memandang prinsip estetika berdasarkan dua hal, form (bentuk) dan isi (content). Ketika sebuah karya hadir, tentu karya itu berangkat dari kerangka berpikir dan pengalaman senimannya yang berikatan kuat dengan konstelasi sosiokulutural tempat seorang seniman berada. Bentuk dan isi dalam karya seni terkadang seperti sebuah puzzle yang saling mencari kesesuaian.
Sekitar tahun 60 an, boleh dibilang tahun di mana kesenian dan politik bersinergi untuk saling membangun strata dan kekuatan. Setidaknya ada dua kubu besar yang saling bertentangan, yaitu LEKRA dan MANIKEBU. LEKRA cenderung humanis dan MANIKEBU cenderung UNIVERSALIS. LEKRA diidentikkan dengan komunisme, sedangkan MANIKEBU diidentikkan dengan liberalisme. Pada era Soekarno, LEKRA begitu berkembang. Anggotanya sangat banyak, bahkan orang-orang di luar kesenian, seperti petani, buruh dan berbagai “profesi kerakyatan”, bergabung dalam LEKRA.
Bagi seniman yang cenderung universalis, menganggap seniman yang hadir di tangah masyarakat tidak harus untuk memberikan solusi pada persoalan sosial. Justru lewat karyanya seniman bisa saja mengajak masyarakat untuk sekedar katarsis, atau bahkan mengalienasi dirinya dari persoalan. Seperti dikatakan Anton Chekov, bahwa seniman tidak harus hadir seperti orang optimis, seniman juga bisa hadir sebagai orang pesimis, karena seniman bukanlah Tuhan. Dengan kata lain, terkadang kesenian dan persoalan sosial memang harus dipisahkan sebagai dua realitas yang berbeda.
Berbeda lagi pandangan seniman yang cenderung humanistis. Bagi seniman humanistis, seorang seniman adalah seseorang yang seharusnya lebih peka dan tanggap dengan segala persoalan sosial. Seniman harus benae-benar turun ke bawah, mengamati penderitaan rakyat dengan berbicara langsung dengan rakyat, membantunya mencangkul dan tidur beralas tikar bersama. Tidak sedikit kelompok atau organisasi seni yang dianggap cenderung kiri oleh orde baru disingkirkan begitu saja, walaupun notabene tak pernah bersinggungan dengan PKI dan komunisme.
Situasi sosial politik hari ini cukup berbeda. Kecenderungan seniman dalam berkaryapun berbeda. Banyak sekali wacana-wacana baru, metode, dan ideologi dalam kesenian. Mengenai bagaimana konsekuensi seni terhadap masyarakat, ruang fisik, budaya tanding, subkultur, dan sebagainya.
Pada dasarnya tentu semuanya hanya sebuah pilihan. Estetika tentu tak melulu bicara soal keindahan. Lebih dari itu, estetika juga berbicara mengenai konteks ruang, waktu dan suasana. Artinya satu karya seni akan “hidup” dan bermakna ketika menemukan satu ekosistem yang tepat, atau sebaliknya beradaptasi dan melakukan perubahan posiitf pada ekosistem yang telah ada.
Seperti dikatakan WS Rendra dalam salah satu puisinya yang berjudul sajak sebatang lisong,
“Apalah artinya Renda-Renda Kesenian
Bila terpisah dengan derita lingkungan
Apalah artinya berpikir
Bila terpisah dengan masalah kehidupan
Kepadamu aku bertanya!”

Yogyakarta 11 Januari 2009
Andika Ananda
153070083



0 komentar:

Posting Komentar

 

Portal Kiri Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template