Senin, 11 Januari 2010

PERJALANAN HIDUP TERJAL SIMBOK GENDONG

Pasar, ketika mendengar kata itu kebanyakan orang akan bergidik jijik dan mungkin saja enggan untuk membahasnya atau bahkan untuk datang dan berbelanja di tempat itu. Sebuah potret globalisasi dimana orang memuja produk instan dan pola hidup hedonis, bahkan cenderung kunsumtif. Mungkin pasar tradisional tak lagi menarik bagi banyak orang. Berdirinya berbagai pusat perbelanjaan yang menawarkan kebersihan dan kemudahan untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari, membuat pasar tradisional semakin terpinggirkan. Di pasar tradisional ini, suasana yang ada benar-benar terbatas. Jangan harap ada pendingin ruangan, bandrol harga, keranjang belanja, atau bahkan mau lihat-lihat cewek cantik yang menjadi SPG. Bahkan sedikit lantai keramik pun akan sulit ditemukan dalam sebuah pasar tradisional.

Satu hal yang membuat saya kagum kepada simbok gendong, adalah beliau tidak memasang tarif atas jasa memanggul belanjaan kita! Menurut beberapa orang yang pernah belanja , katanya tarif sekali gendong sekitar dua ribu rupiah, yah 2000 rupiah saja sangat tidak sebanding dengan tenaga yang mereka keluarkan. Terlebih lagi jika melihat kebaya usang yang membelit tubuh kurus mereka. Namun tak jarang yang memberikan uang lebih kepada si simbok entah atas dasar apa mereka memberikan uang lebih kepada simbok gendong itu, atas dasar kasihan atau mungkin kemanusiaan.. Berat beban yang dibawa oleh si simbok tadi bisa mencapai lebih dari 50 kilogram. Apabila saya memposisikan diri sebagai beliau, dengan jumlah pendapatan (10 gendongan x Rp,4.000,-) sebesar Rp 40.000,-. Sudah cukup besar? Tentu saja cukup besar jika dalam sehari saja bisa mendapatkan uang 40.000, tetapi ketika saya pulang dari pekerjaan itu, akan ada uang pijit 30.000, uang makan sebanyak 3x sehari tidak cukup jika hanya 10.000, lalu belum lagi kebutuha yang lain, sangat kecil uang itu bagi kita, tetapi tidak untuk mereka. Bagi mereka jumlah itu sangatlah besar.
Simbok gendong, merupakan potret kebanyakan warga kelas bawah negeri ini. entah masih berapa banyak profil-profil kerja keras yang ada di sekitar kita, yang berjuang demi sekian rupiah dengan mengorbankan sekian jumlah tenaga dan waktunya. Tak jarang, apa yang dihasilkan masih jauh dari kata cukup. Dimana pemerintah saat ini?? Program-program dibuat untuk memberantas kemiskinan, tapi mana realisasinya bahakan mungkin jumlah kalanag yang kurang seberuntung kta semaikn banyak jumlahnya.
Sebuah fenomena menarik yang diceritakan Nyonya SUTI (63th), seorang buruh gendong di pasar Beringharjo Jogjakarta, kenapa saya menyebutnya sebagai nyonya, karena saya menganggap bahwa mereka adalah setara dengan kita, sama-sama makluk sempurna yang diciptakan oleh Tuhan, dan tentu saja harus kita hormati juga. “ Wong penggede (pejabat) eling rakyat mung yen ono geleme mas, rene yen mung arep coblosan wae, yen wis kepilih yo wis lali” begitu tuturnya spontan. Sebuah fenomena yang sangat menarik jika kita lihat perebutan kursi kekuasaan oleh para jutawan yang haus kekuasaan.
Mungkin sebuah pelajaran bagi para pembesar negeri ini, jika seorang buruh gendong saja dapat mengutarakan hal yang seperti itu. Nyonya SUTI bahakan tak layak dihukum penjara seperti, nek Imah pencuri 3 buah kakao yang dihukum 3 bln penjara, karena ucapannya tadi. Beliau layak mendapatkan perhatian khusus atau bahakan perlakuan khusus seperti pejabat yang jelas-jelas mencuri dan menggunakan uang rakyat yang masih bisa bebas, untuk jalan-jalan keluar negeri.





BURUH GENDONG KAUM BAWAH PEMANGGUL DERITA

 SEORANG Perempuan lusuh di ujung lorong itu sudah melewati separuh abad lebih menghisap udara di dunia penuh dengan panggung sandiwara ini. Tulang yang sudah semakin renta, dipaksakan untuk tetap berdiri kokoh menyambut semua jatah angkut yang juga akan menetukan banyaknya sisa uang untuk dibawa pulang. Tanggung jawab menjadi cambuk untuknya terus bersemangat walau kadang bebang terlalu berat untuk mereka. Bahkan tak hanya beban berat yang mereka gendong, derita berat yang mereka jalani selama ini tidak sedikitpun berkurang tetapi malah bertambah berat.
Dari sebuah sumber media cetak bertaraf nasional saya mendapatkan fakta yang cukup mengejutkan.. Penghasilan harian yang dulu pernah saya tulis sebanyak Rp 40.000,- rupanya cukup sulit diperoleh dalam masa sulit seperti sekarang, paling-paling juga hanya separo, itupun jika keberuntungan menggelayuti gendongan si mbok. Kebutuhan hidup yang semakin mencekik membuat para buruh gendong di pasar Beringharjo harus mengubah pola makan. Jika orang kaya mengatur pola makan demi menghindari penyakit, simbok-simbok ini mengatur pola makan demi melanjutkan hidup, yah sebuah kesenjangan yang sangat mencolok. Menu harian yang tadinya berupa nasi sayur dan sepotong tempe atau tahu dihargai Rp 1.500,-. Kini cuma bisa digunakan untuk makan nasi sayur saja, tanpa lauk. Semua itu mereka lakukan karena pendapatan harian masih harus dibagi dengan biaya transportasi kerena kebanyakan dari merka bukan berasal dari kota jogja melainkan dari kota-kota sekitar jogja yaitu Kulon Progo sebagai wakil dari provinsi DIY, dan juga Boyolali, Sukoharjo, Klaten yang ketoganya terletak di Provinsi jawa tengah dan seharipun bisa melahap jumlah Rp 6.000,- dari kantong mereka. Sisanya untuk sekolah anak, dan membiayai keluarga yang menjadi tanggungan mereka serta konsekuensi dari pekerjaan yang mereka ambil.
Jika orang bilang negeri kita sedang dalam masa susah, lalu apa kabar dengan setumpuk uang yang ada di berankas orang-orang kaya di negeri ini, mungkin itu juga belum termasuk dengan deposito mereka di bank yang mungkin saja mencapai nominal Milyar, yang bahkan mimpi saja tidak terpikirkan bagi para pekerja buruh gendong ini. Mimik sedih atau bahkan air mata para penguasa negara mungkin hanya sebagian dari skenario parodi yang sedang mereka mainkan. Memang sangat tak bijak bila mengatakan mereka itu sedang ditimpa sial. Tapi apa mau dikata, mereka itu sekali lagi cuma tumbal atas parodi kekuasaan negeri koruptor ini.



SEJENAK MENJADI ARTIS


Bukan karena lelah bekerja di pasar atau bahakan bosan dengan pekerjaan menggendong mereka. Para buruh gendong pada tanggal 11 Desember 2009 lalu sejenak menjadi artis, dalam rangka pembukaan BIENALE X, JOGJA JAMMING. Sebuah acara perhelatan karya seni dari para seniman jogja. Acara yang di buka langsung oleh menteri Kebudayaan dan Periwisata Jero Wacik ini menghadirkan para buruh gendong, sebagai salah satu pengisi acara dalam acara pembukaan tersebut. Mereka menggendong beban seperti pekerjaan mereka. Namun ada yang berbeda disini, setiap karung yang mereka bawa bergambarkan karikatur dari para pembesar, bahkan karikatur dari bapak Jero Wacik juga ada. Wajah sumringah dan tanpa beban menghiasi muka keriput mereka. Sebuah senyum simpul sempat terekam saat mata kamera saya mangarah pada mereka. Mereka??, yah karena jumlah mereka yang ytidak sedikit, ada sekitar sepuluh orang yang berpartisipasi dalam acara tersebut, saya pun tidak tau pasti berpa banyak mereak di bayar, namun senyum penuh harap senantiasa menghiasi wajah mereka. Sejenak saya perhatikan kadang canda juga terlempar diantar mereka yang sedang menunggu giliran untuk tampil di depan menteri. Penuh harap juga terpancar dari seorang buruh, yang entah apa yang mereka pikirakan, mungkin saja yang mereka pikirkan, berapa mereka di bayar untuk acara itu. Namun wajah serius juga terpancar ketika buruh gendong di panggil untuk tampil, bak artis kenamaan ibukota mereka berlenggak-lenggok sama persis dengan skenario yang sudah dibuat oleh panitia. Yah mungkin saja bagi mereka hal itu bukan hanya sebagai bagian dari pekerjaan saja akan tetapi bisa juga menjadi sarana sejenak melaepas beban berat yang menggelayuti mereka.

Oleh
G. Agung Bayu Kurniawan
153070021
Continue Reading...

Ketika Tukang Becak Angkat Bicara


 
Becak, sebuah kendaraan yang sangat  khas di Indonesia,   mempunyai 1 roda dibelakang dan 2 roda di muka secara berdampingan. Kendaraan yang bebas polusi ini menggunakan tenaga otot manusia sebagai penggerak utama seperti halnya sebuah sepeda. Kendaraan yang tergolong transportasi itu sempat Berjaya ditahun 60an. Kini keberadaan becak sangatlah berbeda dari pada zaman dahulu.
Adalah  Mbah Rohadi, 70 tahun, adalah seorang warga dusun Bejen Bantul yang ditemui Portalkiri Sabtu (10/1) minggu kemarin pangkalan becaknya yang terletak di perlimaan Bejen Bantul Yogyakarta. Sehari-harinya Rohadi berprofesi  sebagai seorang supir becak. Pekerjaan yang ia jalaninya sejak dari tahun 60an itu mempunyai cerita tersendiri bagi kehidupannya. Kini bersama teman-temannnya menempati pangkalan becak Simpang Lima sebagai tempat untuk menunggu seseorang yang ingin memanfaatkan jasa para pengayuh kendaraan roda tiga itu.

Ditanya perihal seluk beluk becak, Rohadi menjawab, “Becak itu pengoprasiannya mudah kok mas, seperti kita naik sepeda, namun kalu becak dia lebih membutuhkan tenaga yang lebih”. Dipasaran sendiri, becak pun banyak diperjual berlikan, becak dijual seharga mulai dari 1,5 juta sampai dengan harga 2 juta rupiah sesuai dengan bentuk dan variasinya. Berbeda untuk harga becak bekas, untuk harga becak bekas biasanya dihargai sebesar 700 ribu rupiah. Becak Rohadi pun demikian, karena ia tak kuat untuk membeli becak baru, maka ia membeli becak bekas dari temannya seharga 700 ribu rupiah. Untuk perawatan becak itu sendiri, Laki-laki yang sudah berkepala tujuh ini menuturkan ”Perawatannya sama Mas, seperti kita merawat sepeda biasa, namun becak lebih sedikit rumit dibandingkan dengan sepeda yang rodanya cuma dua”.
Suka duka
Ditanya seputar suka dukanya sebagai seorang tukang becak, Rohadi menerangkan pada Portalkiri, “Yah sukanya ketika ada orang yang memanfaatkan jasa saya Mas, duka nya ketika becak saya rusak, misalnya rantainya putus, ban nya bocor, sehingga tak bisa mengayuh dan tak dapat duit. Saya sering cari utangan ketika becak saya mengalami hal seperti itu”.
Sebelum tahun 2007, sehari-harinya ia mampu mendapatkan upah rata-rata 40ribu rupiah. Namun setelah tahun tersebut kini untuk mendapatkan uang sebesar 20 ribu pun sangatlah sulit. Hal tersebut dikarenakan, sekarang ini sudah banyak warga yang mempunyai motor dan telpon seluler. “Sekarang mas, kalau orang turun disini dari bis jarang yang memakai jasa kami, tapi malah memanfaatkan pangkalan ini untuk bertuduh sambil menunggu jemputan dari sanak saudaranya maupun temannya”, ungkap kakek yang masih mempunyai semangat tinggi dalam hidup itu. “
Jaman saya ketika masih muda dulu Mas, saya pernah mengantar seseorang dari Bantul ke Stasiun Tugu yang ada di Yogya, dan waktu itu saya diberi upah 100 rupiah. Uang sejumlah 100 rupiah itu pada aktu itu masih sangat banyak, berbeda dengan sekarang, yah mungkin sekitar 100an ribu  jika pada zaman sekarang”, ungkap Rohadi sembari mengelus-elus becak tuanya.
 “Walaupun saya ini tergolong orang yang bodo, namun karena saya giat untuk berolah raga, ya seperti membecak ini, Alhamdulillah saya diberi kesehatan sampai saat ini dari yang Maha Kuasa. Lihatlah diluarsana, para pegawai kantor yang gajinya setinggi langit, namun kerjaannya cuma duduk, dan santai-santai, terkadang malah membawa penyakit buat dirinya sendiri”, tambah Rohadi sambil menghitung penghasilannya hari itu sebesar 17 ribu rupiah.

Ketika para tukang becak berbicara politik 
Selain Rohadi, ialah Pak Kardi 45 tahun seorang yang sejak dari bangku kelas 6 SD sudah menjadi seorang tukang becak keliling. Kisahnya tak lain seperti halnya Mbah Rohadi. Kardi juga merupakan tamatan sekolah dasar yang putus sekolah. Tak terasa kini sudah 35 tahun an profesi sebagai tukang becak pangkalan Simpang Lima Bejen ia jalani. “Wah kulo niki sakniki malah ngrasakke mboten tentrem, trentem pas jaman Pak Harto rumiyin”, ungkap Kardi yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan seperti ini, “ Wah , sekarang saya itu merasa tidak tentram, saya merasakan tentram malah ketika jamannya Pak Harto dulu”.

Kondisi ekonomi sekarang menurut Kardi sangatlah mengkawatirkan.” Koruspsi yang meraja lela dimana-mana, para penguasa seakan-akan tidak memperhatikan nasib rakyatnya”tandas Bapak berusia kepala 4 itu. Kardi juga menambahkan,” Walaupun saya ini cuma dari kalangan tingkat rendah ya Mas, tapi saya juga ikut memikirkan negeri ini, melihat korupsi dimana-mana, para penguasa sibuk menghitung uangnya, dan sepertinya para penguasa sepertinya tidak memikirkan rakyat kecil seperti saya ini”.
Sebuah suara dari rakyat kecil seperti mereka, namun memberikan wawasan yang begitu nyata, dalam, bermanfaat bagi kita. Bahwasanya kita itu hidup dituntut untuk berusaha, bekerja keras dan berdoa serta pantang menyerah. (Sigid Kurniawan/153070139/A)



Continue Reading...

Gairah Bisnis Melanda Kaum Intelektual muda.


            Seiring dengan perkembangan dan kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan di era globalisasi sekarang, dunia bisnis pun turut mengalamai perkembangan yang pesat. Berbagai jenis usaha bermunculan mulai dari usaha manufaktur, kecil, menengah, bahkan yang besar sekalipun ikut peran serta meramaikan kancah persaingan bisnis di negeri ini.
            Beragam jenis usaha dengan inovasi baru pun lahir, baik didalangi oleh pemain lama atau pun pemain yang tergolong baru di dunia kewirausahaan. Jelasnya, kehadiran mereka dengan berbagai macam kreasi bisnis usaha yang diciptakan, turut memberi nafas bagi perekonomian negeri yang sedang carut – marut ini. Para pelakon dalam dunia kewirausahaan tersebut, berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda, dan yang menjadi sorotan utama ialah semakin bermunculannya para pemain baru yang berasal dari kaum intelektual muda yang menciptakan peluang – peluang usaha dengan varian baru. Turut andilnya mereka dalam dunia kewirausahaan di Tanah air merupakan suatu fenomena yang sedang populer sekarang ini.
            Tampaknya gairah bisnis sedang melanda para kaum intelektual muda kita. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa para intelektual muda tersebut dengan bermodalkan insting bisnis, dan dengan segenap ide kreasi segar serta semangat energik yang mereka miliki mampu melahirkan jenis usaha baru yang lebih inovatif, atau pun me-recycle usaha jenis lama menjadi sebuah usaha/ bisnis dengan prospek yang lebih menjanjikan dari sebelumnya. Banyak contoh dari sekian kaum intelektual muda Tanah air ini yang memacu peruntungan lewat dunia bisnis, dan tidak sedikit pula diantara mereka yang meraih kesuksesan.

Naluri Bisnis Seorang Budi.

            Meski setiap harinya Budi Rahman disibukkan dengan kegiatan kuliahnya disalah satu perguruan tinggi swasta di wilayah Yogyakarta, bujangan kelahiran 22 tahun silam ini masih bisa menyempatkan diri untuk mengurusi usaha pembibitan ikan air tawar miliknya di sekitar daerah Babarsari, Sleman Yogyakarta.

        Budi Rahman merupakan salah satu potreit sosok wirausahaan muda asal Yogyakarta yang telah menekuni usaha pembibitan ikan air tawar hampir selama 2 tahun. Dengan segala kesibukan yang ia miliki, mahasiswa tingkat lima jurusan ekonomi ini mengaku menikmati usaha yang ia jalankan. Ia menjelaskan bahwa pada dasarnya memang gemar memelihara hewan dari sejak kecil, disamping itu ia memang menyenangi dunia bisnis, meskipun disadarinya ia sama sekali tak mewarisi darah pembisnis dari kedua orang tuanya. Kedua orang tua Budi, begitu Ia biasa dipanggil, hanyalah seorang pegawai negeri biasa, sedangkan ibunya seorang ibu rumah tangga tulen. Namun walaupun demikian adanya, keluarga mendukung penuh atas usaha yang dijalani Budi sekarang ini.
            Berawal dari isengnya budi yang kerap nongkrong bersama teman – temannya di daerah sekitar tambak tempat pembudiyaan daya ikan air tawar, timbul hasrat dalam dirinya untuk mencoba menekuni usaha yang serupa. Bermodalkan uang pas – pasan dan pengalaman dimana dulunya Ia pernah mempunyai usaha kecil – kecilan dalam ternak jangkrik dan pengetahuan yang didapat dari lingkungan sekitar, maka Ia mulai mencoba menggeluti usaha pembibitan air tawar ini. Pada awal pertama kali merintis usaha, Ia memiliki seorang partner kerja dengan prinsip modal bersama dan ketentuan bagi hasil masing – masing 50 % per orang. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, mereka memilih pisah, dengan dalih ingin mengembangkan usaha secara mandiri. Menjadi seorang pengusaha sukses yang mandiri, sudah merupakan cita – cita Budi sejak awal mengenal bangku SMP, dan kini Ia telah mencoba untuk merealisasikannya.
            Hebatnya, usaha yang sudah Ia tekuni selama kurun waktu 2 tahun ini, dijalaninya tanpa bantuan seorang karyawan pun.Walau mengaku kerepotan dengan jadwal kuliah dan tugas harian yang padat, Ia lebih memilih menjalankan usahanya ini sendiri, sebab dengan begitu menurutnya usaha akan mudah terkontrol dengan baik. Hingga saat ini, Budi telah mampu menyewa 5 kolam besar dan 3 kolam kecil dengan total biaya sewa Rp. 2 juta / tahun, khusus untuk pembibitan ikan Nila, Gurame dan Bawal. Ia memilih pembibitan jenis ikan tersebut, sebab selain cenderung banyak peminatnya, harga jual lumayan tinggi, selain itu pasokan bibitnya pun mudah didapat dan perawatannya pun terbilang tidak serumit dan selangka bibit ikan Lele. Untuk bibit ikan, biasanya Ia mendapat pasokan silang dari kolam – kolam sekitar milik petani lain, dengan sitem simbiosis mutualisme alias bagi hasil ataupun dengan cara membeli seharga Rp. 200/ ekor.
Selama menjalankan usaha ini, Ia menjelaskan belum pernah mengalami kerugian. Tetapi bukan berarti usahanya bebas hambatan. Hambatan tersebut bukan berasal dari segi pemasaran, sebab Ia mengaku tidak terlalu khawatir terhadap persaingan yang terjadi antar sesama petani ikan, kemungkinan tersebut sedikit sekali, sebab yang sifatnya bahan pangan pasokan untuk permintaan pasar selalu dibutuhkan. “ Kita, sesama petani saling dukung...kok”. tuturnya. Ia mengungkapkan, keadaan seperti ini berbanding terbalik dengan pengalamannya saat menjadi peternak Jangkrik, yang mana begitu banyak diwarnai persaingan, yang tidak hanya dari peternak lokal saja, tetapi bahkan luar kota juga. Hambatan yang Ia alami selama menjalankan usaha ini, lebih dikarenakan faktor alam, yaitu adanya wabah musiman yang kerap menyerang ikan, suplai air kolam yang sulit disaat musim penghujan tak kunjung datang. Disamping itu, kendala lain yang menjadi hambatan ialah mengenai biaya pakan ikan yang sering membengkak, dimana Budi harus mengeluarkan kocek senilai Rp. 100.000/ bulannya untuk pembelian pakan ikan berupa pelet, dan untuk menekan biaya pakan, Budi harus menyiasatinya dengan membeli sayuran busuk guna asupan tambahan pakan ikan dengan biaya Rp. 5.000 rutin setiap harinya. Jadi, total rincian biaya pakan yang harus Ia keluarkan yakni sebanyak Rp. 250.000/ bulannya untuk 25 Kg bibit ikan. Hal lain yang menjadi perhatian Budi, yaitu masalah seputar sulitnya pencarian tempat untuk sewa kolam.
            Walaupun demikian, biaya yang membengkak dapat tertutupi dengan profit lumayan yang dibisa diraup Budi dari hasil penjualan ikan untuk masa 3 kali panen dalam 1 tahun, yakni rata – rata Rp. 900.000. Biasanya, Budi mematok harga jual bervariasi untuk masing – masing ikannya. Seperti bibit ikan Nila yang dijual Rp. 12.000/Kg, Bawal Rp. 10.000/Kg, dan yang paling mahal bibit ikan Gurame seharga Rp. 22.000/Kg. Target pemasaran bibit ikan milik Budi yakni langsung ke para tengkulak dan dilempar ke pasar – pasar tradisional. Hasil dari penjualan yang lumayan tersebut tentunya tak lupa Ia sisihkan sebagian untuk di tabung, dan sisanya, sering digunakan sebagi uang sakunya sendiri, sehingga jika hanya untuk sekedar jajan sehari – harinya, Ia sudah jarang mengharap pemberian orang tua.

Rahasia Dibalik Sukses Budi.


            Didalam dunia bisnis, memang kerap diwarnai sejumlah persaingan antar sesama pelakonnya. Intrik yang digunakan cukup bervariasi, guna melihat kejatuhan lawan bisnis dan mengalihkan saluran dari pundi – pundi keuntungan lawan ke kas sendiri. Berbagai macam cara dilakukan, entah itu melalui persaingan yang sehat, lewat peran halal atau pun licik, kesemuanya tergantung niat dan pilihan masing – masing dari para pelakonnya. Dalam percaturan bisnis, kemungkinan terburuk yang tersaji dalam kegagalan dan kerugian bisa saja menimpa siapapun dan kapanpun. Yang jelas tidak ada tempat bagi para pengecut di dalam persaingan ini.
            Demikian pula halnya dengan langkah berani yang diambil Budi, Disaat teman – teman sebayanya melangkah riang keluar masuk Mal, Ia malah asyik menceburkan diri kedalam dunia bisnis yang menguras waktu luang dan pikirannya. Langkah berani seorang Budi ini, patut diancungi jempol dan menjadi inspirasi bagi banyak anak muda lainnya. Bermodalkan kemandirian, keberanian dan ketekunan, Ia telah mampu melenggang ditengah kancah persaingan bisnis. Berkat restu dan dukungan moril dari orang – orang terdekatnya, layaknya kedua orang tuanya yang men-suport penuh atas aktivitasnya ini, Ia merasa lebih percaya diri lagi. Cita – cita yang Ia pelihara sejak awal, telah coba Ia wujudkan lewat usaha sederhana, namun bisa menjadi tonggak kesuksesannya dimasa mendatang.
            Budi yang dilatar belakangi keluarga agamis ini, selalu mengedepankan prinsip jujur pada kehidupan pribadinya, termasuk pula dalam kehidupan usaha yang sekarang Ia jalani. Strategi bisnis yang Ia terapkan, yakni selalu berusaha mengutamakan kualitas dan kepuasan pelanggannya. Maka tak mengherankan kalau hingga sekarang usaha miliknya kian hari kian berkembang. Ketika ditanya menyangkut soal harapannya untuk usahanya mendatang, Pemuda berlesung pipit ini nyengir sembari menjawab “ Harapan saya yah...kepengen usaha ini bakal langgeng seterusnya, dan kepengen juga sih...coba usaha lain, kayak punya usaha warung makan gitu...”.


Di tulis oleh : Septi Andriani ( 153070378 )


Continue Reading...

Minggu, 10 Januari 2010

Agus Katro Melukis Jalanan



“Jalanan adalah rumah bagi saya”
Pelukis gondrong yang terkenal dengan gayanya yang sangat spontan dan eksentrik ini sudah puluhan tahun malang-melintang di kehidupan jalanan. Sekian banyak pameran diikutinya, baik berskala lokal-regional, maupun nasional. Ada juga karya-karya Agus Katro yang dikoleksi oleh beberapa museum dan Galeri di Luar negeri, seperti Belanda, Jerman, New Zealand dan Amerika.
Bila anda berkunjung ke pasar senthir Malioboro, nama Agus katro sudah tidak asing lagi di kalangan para pedagang sepeda antik. Apalagi kalau anda berkunjung ke Pasar Kembang. Tapi jangan salah, jangan berburuk sangka dulu. Di kawasan yang terkenal dengan image wilayah “X” ini Agus berkesenian. Kesenian macam apakah yang dilakukan di sekitaran pasar kembang?
Malam itu akhirnya saya bisa bertemu dengan Mas Agus Katro di rumahnya yang terletak di daerah Mrisi, sebelan selatan pabrik gula Madukismo. Sulit menemui seniman yang satu ini, kesibukannya bukan hanya melukis, belakangan ia sangat intens memberi workshop menggambar untuk anak-anak kecil yang tinggal di sekitaran Pasar Kembang.
Agus Katro adalah nama beken dari Agus Suyamto. Pria kelahiran Solo 16 Desember 1968 ini sejak kecil memang hobi menggambar. Tak jarang orangtuanya harus repot menghapus coretan-coretan yang dibuat Agus di berbagai sudut rumahnya. “sejak kecil saya ini nggak punya cita-cita”, ungkapnya ketika ditanya tentang cita-cita sewaktu kecil. Ketika SMA Agus sempat mendaftar menjadi tentara, itupun karena permintaan orangtua. Alhasil uang sepuluh juta rupiah yang jelas cukup besar waktu itu hanya melayang percuma.”Jaman segitu pakai pelicin sepuluh juta, eh ternyata malah gagal”.
Lagi-lagi orangtuanya meminta Agus menjadi pengabdi negara. Kali ini berbeda, orang tua Agus memintanya untuk mendaftar di Dinas Kesehatan. Agus yang terlanjur patah hati karena tidak diterima menjadi tentara menolak dengan tegas keinginan orangtuanya. Keputusasaan sempat menyelimuti pikiran Agus, hingga akhirnya ia memutuskan untuk berkesenian. Apalagi kalau bukan tentangan dari keluarga yang didapat Agus. Bagi orangtua di jaman itu menjadi pegawai negeri adalah tolak ukur prestise dan kemapanan. Bahkan sampai sekarang.
Dengan berat hati kedua orangtuanya membiarkan Agus berkuliah di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Solo mengambil jurusan Tata Rupa Panggung. Hanya bertahan satu tahun, Agus merasakan banyak benturan, mulai dari ia merasa jurusan yang ia pilih dirasa tidak sesuai dengan keinginannya yang lebih ingin menjadi pelukis, keluarga yang setengah hati membiayai, sampai hal-hal yang baginya sangat ideologis dalam proses berkeseniannya waktu itu. Agus ingin menjadi pelukis!

Berbekal Sepuluh Ribu Rupiah Nekat ke Jakarta
Sekitar tahun 1991 Agus nekat hijrah ke Jakarta. Pertama kali sampai di Jakarta, ia tinggal di sekitaran pondok bambu. Hanya berbekal uang sepuluh ribu rupiah yang ia dapat dari ibunya ia jelajahi kerasnya jalanan Jakarta. Mulai dari berjualan permen, menjadi pengasong koran, kuli bangunan, tukang adu ayam, dan berbagai pekerjaan lain yang dijalaninya untuk sekedar bertahan hidup dan melukis.
Setiap mendapat uang dari bekerja ia belikan peralatan lukis dan makan. Sisa membeli peralatan lukis dan makan selalu diberikan pada orang-orang di sekitarnya. “Semua orang yang hidup di jalan itu saudara saya mas, seluruh Jakarta itu rumah saya. Lhah wong tidurnya sak enake dhewe kok.”. Tak jarang Agus memilih menahan lapar untuk orang lain yang dipandang lebih menderita dibandingkan dirinya.
Sekitar tahun 92 Agus memutuskan untuk bekerja sebagai pelukis jalanan. Ia menggelar jasa lukis foto di sekitar Blok-M. Pada awalnya tak jarang ia harus berurusan dengan preman sekitar Blok-M.”Hampir setiap hari saya berkelahi, ya apa boleh buat”. Setelah diterima sebagai “orang Blok-M”, Agus mengalami benturan lagi. Kawan-kawannya sesama pelukis jalanan mengganggapnya terlalu idealis dan tidak cocok melukis di jalan. Berbagai kritikan pedas tak membuat Agus berkecil hati, justru sebaliknya, hal itu memacu Agus untuk terus belajar dan berjuang.

Di Bali Saya Lahir sebagai Pelukis

 Tahun 1993 Agus memutuskan untuk hijrah ke Bali. Ia mengaku tak pernah tahu di mana dan seperti apa Bali. Ia hanya pernah mendengar dari kawan-kawannya sesama pelukis jalanan, bahwa Bali adalah sarangnya pelukis hebat.
Dengan modal nekat ia berangkat ke Bali. Sesampainya di terminal Ubung, Agus berkenal dengan Made Cun, salah satu preman terminal yang mengantarkannya ke Ubud. Made Cun mengatakan bahwa Ubud adalah salah satu daerah di Bali yang menjadi gudangnya pelukis dan galeri.
Di Ubud ia mengenal beberapa pelukis sesama perantau, seperti Badrus, Soni, Yoyok, Murita dan lain-lain. Ketika awal di Bali Agus tinggal tidak menetap, kadang menumpang di tempat teman sesama pelukis, tapi seringkali juga tidur di jalanan. Entah emper toko, pasar atau tempat apapun asal bisa untuk tidur, ungkap Agus. “Awal di Bali, hidup saya jauh lebih berat daripada di Jakarta, Satu hari bisa makan sekali saja sudah bagus. Kadang malah dua atau tiga hari baru bisa makan. Tergantung lukisan laku apa tidak.” Berbagai cobaan yang terpaksa membuat Agus hidup prihatin justru menjadi energi dan semangat bagi Agus untuk tetap melukis.
 “Saya itu lahir sebagai pelukis ya di Bali”. Bila sebelumnya Agus hanya sekadar melukis, lain di Bali. Agus mulai mengenal aliran-aliran dalam lukisan dan berbagai teknik atau gaya melukis. Persinggungan Agus dengan banyak pelukis di Bali, mulai membuka mata Agus tentang perspektif melukis dan berkesenian. Hampir dua tahun di Bali, baru Agus mampu untuk kos dan hidup lebih dari cukup untuk ukurannya pada saat itu. Tapi tetap Agus tidak pernah lupa dengan jalanan. Ia selalu memberikan lebih dari sebagian rejekinya untuk orang-orang jalanan.
Awalnya Agus asyik menekuni gaya impresionisme, sempat beralih ke abstrak, hingga akhirnya ia nikmat dengan gaya naïf figuratif. Tema dan figur yang muncul di lukisannya, selalu tema-tema urban, problematika masyarakat kelas bawah dan berbagai persoalan sosial yang dirasa dekat dengannya. Jalanan menjadi sumber rumah, sekaligus sumber inspirasi baginya.
Tahun 98 ia menikah dengan pelukis asal Iran yang bernama Nasim. Perkenalan yang hanya berlangsung selama tiga bulan bukan waktu yang singkat untuk saling mengenal dan memutuskan untuk membuat ikatan kehidupan yang lebih serius.
Mereka hidup sebagai dua seniman eksentrik dengan orientasi sosial yang tinggi. Pernikahan dengan Nasim tidak membuat Agus berubah, jalanan tetap menjadi segalanya bagi Agus.. Menurut Nasim, justru karena itulah ia sangat mencintai Agus. Baginya ia suami yang spontan, berhati besar, sehingga sering tidak menggunakan pikirannya dalam bertindak untuk hal-hal yang bersifat sosial. “bagi saya di situlah sebenarnya esensi berkesenian’ tutur pelukis tamatan salah satu universitas seni terkemuka di Belanda ini. Ketika kita mampu berbesar hati menangkap dan merespons kondisi sosial dengan spontan (rasa), daripada pikiran. Meletakkan ego sebagai seniman dan melukis dengan sikap dan perbuatan.
13 tahun dirasa cukup bagi Agus menimba ilmu dan menimba hidup di Bali. Akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan proses berkeseniannya di Yogyakarta.

Saya menemukan Yogyakarta di Pasar Kembang (Sarkem)
Teh suguhan dari Agus sudah hampir tandas, tapi dia masih begitu berapi-api menceritakan perjalanan hidupnya. “Saya juga nggak tahu mas, dari dulu saya itu nggak pernah mikir masa depan, bahkan saya itu sering nggak makan kok, yang penting bisa beli cat, terus sisanya buat orang lain.hahaha”. Agus mengutarakan itu dengan sangat spontan.
Agus memutuskan ke Yogyakarta. Menurut Agus Yogyakarta memiliki aura berkesenian yang lain dan sangat berbeda dengan Bali. Tak bisa dipungkiri sejarah seni lukis Yogyakarta memang sangat luar biasa. Orang-orang semacam Affandi, Basuki Abdullah dan sejumlah nama besar lainnya menempuh prosesnya di Yogyakarta.
Memang pada kenyataannya, sekarang ini banyak sekali terjadi monopoli pasar dan hegemoni dari kelompok-kelompok tertentu, tetapi bagi Agus itu hanya dinamika dari proses berkesenian. “Obsesi saya tetap jadi orang terkenal dan profesional mas, tapi saya nggak akan lupa sama jalanan”.
Agus juga tidak begitu ingat, sejak kapan dia asyik dengan suasana di sarkem. Baginya sarkem adalah tempat yang sangat inspiratif. Agus mengungkapkan, bahwa justru di Sarkem ia banyak belajar tentang hidup. Tentang janda berusia 18 tahun yang harus menghidupi dua anaknya, tentang istri yang memang “dijual” suaminya, tentang anak berusia 14 tahun yang harus merelakan kegadisannya sekedar untuk makan. Masih banyak lagi tentunya serangkaian kisah satir lainnya.
Di Sarkem Agus tidak sekedar melukis dan mengajari siapapun yang ingin belajar melukis, seperti kebiasaannya ketika hidup di Jakarta dan Bali, seringkali Agus membagikan sedikit rejekinya untuk orang-orang di sekitar sarkem. Ia sering tidak tega melihat perempuan malam di sana. “Kalau nggak laku ya, kasihan juga Mas, kadang mereka itu seharian juga bisa nggak makan kok mas. Kalau saya punya uang ya saya belikan sego kucing, kalau nggak punya ya  sama-sama laparnya.”
“Saya itu menemukan Yogyakarta ya di Sarkem”. Menurut Agus,,kehidupan di Sarkem lebih menyedihkan, daripada di tempat-tempat lain. Orang-orang di Sarkem adalah orang-orang yang nekat bertahan hidup. Sama seperi seniman. Sebagian besar masyarakat masih belum bisa menerima pekerjaan sebagai seniman. Mirip juga dengan pelacur. Saya berproses yang di jalan, ya di sarkem, ya di mana saja. Yang penting saya bisa melukis dan membuat orang lain senang.
Melukis itu nggak hanya di kanvas, jalanan juga saya lukis!


Seniman dan Realitas Sosial

            Tak beda dengan sebuah profesi konvensional lainnya, berkesenian juga merupakan sebuah pilihan logis untuk memenuhi kebutuhan hidup. Menurut Putu Wijaya, ketika menjadi seniman selayaknya berpikir idealis, tetapi tetap realistis. Tentu, ketika idealisme dan kebutuhan domestik dapat bersinergi, maka lengkaplah hidup seorang seniman.Benarkah itu? Lalu bagaimanakah dengan ruang sosial yang lebih luas?
Siapa yang tak kenal dengan Djoko Pekik, pelukis tua yang terkenal lewat lukisan babinya, tepat ketika lengsernya rezim Soeharto.. Sekitar tahun 60-an Djoko Pekik bersama kawan-kawannya mendirikan Sanggar Bumi Tarung, sebuah sanggar yang berisi para pelukis dan para perupa yang disingkirkan dengan begitu naïf oleh kungkungan orde baru. Sanggar ini memiliki prinsip bahwa seorang seniman harus tetap turun ke bawah untuk “merasai dan benar-benar memberikan solusi secara lebih konkret dan langsung”.
            Dalam tradisi Aristotelian, memandang prinsip estetika berdasarkan dua hal, form (bentuk) dan isi (content). Ketika sebuah karya hadir, tentu karya itu berangkat dari kerangka berpikir dan pengalaman senimannya yang berikatan kuat dengan konstelasi sosiokulutural tempat seorang seniman berada. Bentuk dan isi dalam karya seni terkadang seperti sebuah puzzle yang saling mencari kesesuaian.
Sekitar tahun 60 an, boleh dibilang tahun di mana kesenian dan politik bersinergi untuk saling membangun strata dan kekuatan. Setidaknya ada dua kubu besar yang saling bertentangan, yaitu LEKRA dan MANIKEBU. LEKRA cenderung humanis dan MANIKEBU cenderung UNIVERSALIS. LEKRA diidentikkan dengan komunisme, sedangkan MANIKEBU diidentikkan dengan liberalisme. Pada era Soekarno, LEKRA begitu berkembang. Anggotanya sangat banyak, bahkan orang-orang di luar kesenian, seperti petani, buruh dan berbagai “profesi kerakyatan”, bergabung dalam LEKRA.
Bagi seniman yang cenderung universalis, menganggap seniman yang hadir di tangah masyarakat tidak harus untuk memberikan solusi pada persoalan sosial. Justru lewat karyanya seniman bisa saja mengajak masyarakat untuk sekedar katarsis, atau bahkan mengalienasi dirinya dari persoalan. Seperti dikatakan Anton Chekov, bahwa seniman tidak harus hadir seperti orang optimis, seniman juga bisa hadir sebagai orang pesimis, karena seniman bukanlah Tuhan. Dengan kata lain, terkadang kesenian dan persoalan sosial memang harus dipisahkan sebagai dua realitas yang berbeda.
Berbeda lagi pandangan seniman yang cenderung humanistis. Bagi seniman humanistis, seorang seniman adalah seseorang yang seharusnya lebih peka dan tanggap dengan segala persoalan sosial. Seniman harus benae-benar turun ke bawah, mengamati penderitaan rakyat dengan berbicara langsung dengan rakyat, membantunya mencangkul dan tidur beralas tikar bersama. Tidak sedikit kelompok atau organisasi seni yang dianggap cenderung kiri oleh orde baru disingkirkan begitu saja, walaupun notabene tak pernah bersinggungan dengan PKI dan komunisme.
Situasi sosial politik hari ini cukup berbeda. Kecenderungan seniman dalam berkaryapun berbeda. Banyak sekali wacana-wacana baru, metode, dan ideologi dalam kesenian. Mengenai bagaimana konsekuensi seni terhadap masyarakat, ruang fisik, budaya tanding, subkultur, dan sebagainya.
Pada dasarnya tentu semuanya hanya sebuah pilihan. Estetika tentu tak melulu bicara soal keindahan. Lebih dari itu, estetika juga berbicara mengenai konteks ruang, waktu dan suasana. Artinya satu karya seni akan “hidup” dan bermakna ketika menemukan satu ekosistem yang tepat, atau sebaliknya beradaptasi dan melakukan perubahan posiitf pada ekosistem yang telah ada.
Seperti dikatakan WS Rendra dalam salah satu puisinya yang berjudul sajak sebatang lisong,
“Apalah artinya Renda-Renda Kesenian
Bila terpisah dengan derita lingkungan
Apalah artinya berpikir
Bila terpisah dengan masalah kehidupan
Kepadamu aku bertanya!”

Yogyakarta 11 Januari 2009
Andika Ananda
153070083



Continue Reading...

Rabu, 02 Desember 2009

Apresiasi Warga Sleman Dalam Karnaval Pelangi Budaya Bumi Merapi



SLEMAN (portal kiri) - Sejumlah 38 peserta pewakilan kelompok budaya meliputi bregada prajurit tradisional, kesenian tradisional, komunitas mahasiswa dan perguruan tinggi., Kelompok pariwisata dan batik, desa-desa wisata memeriahkan Kirab Karnaval Pelangi Budaya Bumi Merapi Sleman Rabu (2/12). Dengan menempuh rute sepanjang tiga kilometer dari Lapangan Mlati hingga Lapangan Denggung Sleman.
"Kegiatan in merupakan wujud dari keberagaman serta keragaman masyarakat yang tinggal di Sleman yang menjadi kekuatan tersendiri bagi Kabupaten Sleman untuk meningkatkan dan memberdayakan kemandirian masyarakat dalam pembangunan. Apalagi kebanyakan masyarakat sudah mulai jauh dari nilai kebudayaannya sendiri dan lebih memilih kebudayaan yang berasal dari luar, seperti gotong royong yang mulai ditinggalkan dan digantikandengan pola hidup individualis," kata Wakil Bupai Sleman, Sri Purnomo saat ditemui di Lapangan Degung, Sleman, Rabu (2/12)

Lebih lanjut Sri Purnomo mengatakan karnaval pelangi budaya bumi merapi ini merupakan moment yang sangat strategis untuk semakin mengenalkan dan mempromosikan potensi wisata Sleman kepada masyarakat luas. kirab ini juga merupakan salah satu upaya untuk mengajak masyarakat dalam membangun Sleman baik dalam bidang pendidikan, ekonomi, keamanan, seni budaya maupun spiritual yang mencerminkan semangat membangun Sleman menuju kesejahteraan.

Ditambahkan Ketua Panitia Karnaval Pelangi Budaya Bumi Merapi Sleman, R. Joko Handojo menjelaskan kegiatan ini merupakan rangkain puncak Hari KORPRI yang menggambarkan keanekaragaman potensi budaya Sleman dan sekaligus wujud kegembiraan telah ditetapkannya Batik oleh UNESCO sebagai karya bangsa Indonesia.

"Penyelenggaraannya tahun ini Pelangi Budaya Bumi Merapi diikuti hingga ribuan peserta yang berasal dari seluruh stake holder pariwisata di Sleman. Karnaval akan dibagi menjadi sejumlah kelompok yaitu kelompok budaya, pariwisata dan batik, Badan Permusyawaratan Musea (Barahmus), perbankan, sekolah, dinas atau instansi, sepeda onthel serta, hingga Merapi Off-Road," kata Joko

Dengan acara pendukung berupa pentas seni pelangi budaya yang meliputi jathilan, kobrasiswa, macapat, dolanan anak, dadhung awuk, barongsai dan karawitan anak. Karnaval Pelangi Budaya Bumi Merapi ini merupakan kegiatan budaya yang merupakan wujud nyata dari keanekaragaman potensi budaya dan seni di Kabupaten Sleman yang dieksplorasikan melalui kreativitas dan inovasi para peserta karnaval.

Diharapkan event ini dapat membangun kebersamaan warga masyarakat Sleman dalam bingkai budaya, menumbahkan kreatifias dalam mengapresiasi budaya masyarakat, memberikan hiburan segar dan mendidik bagi segenap lapisan masyarakat, wahana pelestarian dan penembangan serta pemanfaatan kebudayaan. Sekaligus dapat memupuk rasa memiliki terhadap budaya lokal dan budaya positif yang berkembang di Sleman.

Sebelumnya telah dilakukan acara seremonial berupa pencanangan penggunaan pakaian batik bagi instansi pemerintah dan sekolah-sekolah, serta sebagai himbauan kepada masyarakat untuk juga mengenakan batik.(G. Agung Bayu Kurniawan/153070021)
Continue Reading...

Minggu, 29 November 2009

festival kesenian yogyakarta, cara baru unjuk gigi.


-Upacara adat hanya dilakukan sebagai rutinitas padahal jika dikemas akan menjadi atraksi budaya yang bisa menjadi potensi pariwisata pasti akan lebih menarik lagi.Kali ini dalam Festifal Upacara Adat Propinsi DIY 2009 yang baru pertama kalinya diadakan di DIY ditampilkan ratusan peserta Upacara Adat dari 5 Kabupaten dan kota se-DIY di Alun-alun Utara yang kemudian melaksanakan kirab mengelilingi benteng keraton dan berakhir kembali di alun-alun kota yogyakarta.
"Festifal upacara adat ini sebagai cara untuk mengeluarkan atraksi budaya agar mampu mengundang wisatawan, menariknya festifal ini tidak sekedar pawai upacara adat saja tetapi juga sekaligus menampilkan keseluruhan prosesi ritual adatnya" ujar Kepala Dinas Kebudayaan Propinsi DIY, Drs. Joko Dwianto saat ditemui di Alun-alun Utara, Yogya, Minggu (29/11). Upacara adat yang ditampilkan dalam Festifal Upacara Adat Propinsi DIY 2009 merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan untuk penguatan nilai-nilai kearifan local, pewarisan semangat, pelestarian pada generasi muda, mendukung ruang ekpresi budaya bagi kaum adapt, meningkatkan kualitas dan tampilan upacara adapt menjadi atraksi budaya rutin tahnuan serta menunjang kepariwisataan DIY.
Hal lain yang sangat menarik adalah bagaimana menyaksikan upacara adat yang langka, jarang kita dengar, apalagi disaksikan oleh generasi muda - namun tetap eksis di pelosok pedesaan - seperti Tuk Sibedug & Bekakak dari Sleman, Babad Dalan & Cingcing Goling dari Gunungkidul, Nawu Enceh & Maheso Suro dari Bantul, Wiwitan & Nawu Sendang dari KulonProgo serta Ruwatan & Merti Code dari Kota Yogyakarta akan ditampilkan dengan pelaku-pelaku dan propertinya aslinya
Dia mengatakan saat ini di DIY terdapat setidaknya 32 desa budaya yang bisa dikembangkan, masing-masing setidaknya mempunyai upacara adat dan atraksi budaya yang masing-masing mempunyai daya tarik tersendiri sebagai potensi pariwisata.
Lebih lanjut Joko mengatakan saat ini pemerintah Propinsi DIY mempunyai cita-cita agar masing-masing desa budaya mampu mengembangkan apa yang potensi yang mereka punyai.
Pemerintah akan memberikan stimulan serta dukungan infrastruktur dalam bentuk seperangkat gamelan dan tentunya sarana lain yang menunjang potensi budaya.Harapan kedepannya acara ini akan digelar setiap tahun atau menjadi event reguler dengan format yang lebih besar dan lebih baik.(G. Agung Bayu Kurniawan/153070021)
Continue Reading...

Senin, 23 November 2009

Perkembangan Komunitas Jazz Jogja


Bantul, Portalkiri
- Di tahun 2000 sebuah komunitas jazz lahir di sebuah restoran di Yogyakarta. Dimulai dari sekumpulan musisi jazz yang berusaha untuk mengenalkan jazz pada masyarakat, bahwa jazz bukan musik yang bisa dinikmati oleh menengah ke atas saja, melainkan bisa dinikmati oleh semua kalangan.

“Jazz sendiri juga awalnya adalah musik orang minoritas, yaitu orang kulit hitam yang tinggal di Amerika. Tetapi kemudian image itu diubah jika jazz hanya bisa dinikmati oleh orang-orang berduit yang datang ke restoran mahal menggunakan jas,” kata Fabion Haryo Ajie selaku anggota dari Komunitas Jazz Yogja.

Komunitas Jazz Yogya memulainya dengan membuat acara rutin mingguan yang tempatnya disediakan oleh DJ Fanny. “Di situ kami membuat acara jam session khusus jazz sebagai dasar terbentuknya komunitas jazz di Yogyakarta. Selain jam session kami juga mengadakan workshop kecil-kecilan sebagai tambahan ilmu bagi temen-temen yang ingin tahu banyak tentang jazz,” kata Bion, sapaan akrab Fabion.

Workshop ini akhirnya mampu mendatangkan musisi jazz yang sudah punya nama seperti Indra Lesmana, Benny Likumahua, dan lain sebagainya agar pemikiran jazz tidak hanya terpaku dalam pengertian jazz tetapi mencakup keseluruhan dari genre musik yang ada di jazz itu sendiri.

“Ternyata jazz bukan hanya sekedar fusion saja, tetapi banyak genre lain juga, misalnya blues dan bossanova. Hasil dari workshop dan jam session ini adalah kami bisa mengirim temen-temen di festival jazz, Jazz Goes To Campus Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, dan berhasil menjadi juara pertama dalam festival tersebut. Semua dapet the best player,” tutur Bion.

Hal ini juga terulang pada festival serupa pada tahun-tahun berikutnya. “Akhirnya anak-anak Jakarta tidak lagi menganggap remeh anak-anak Yogya, dan kredibilitas Jogja menjadi patokan perkembangan jazz daerah lain,” lanjutnya.

Hal ini menjadikan musisi jazz Jakarta tertarik untuk bekerjasama dengan musisi Jogja, sehingga komunitas jazz Jogja mengalami kekosongan. Dalam kekosongan ini sempat muncul komunitas-komunitas baru. Kekosongan ini dibiarkan selama dua tahun karena kesibukan masing-masing dari anggota Komunitas Jazz Yogya. Kevakuman ini juga berimbas ke kota lain seperti Bandung.

Komunitas baru yang terbentuk ini ingin mengeksiskan kembali geliat musik jazz Jogja. Tari Pradeksa kemudian memfasilitasi para musisi jazz yang ingin kembali eksis di dalam bidangnya.

Pada awal 2007, komunitas ini kembali hadir dalam format jazz baru yang bertajuk Jazz on the Street yang awalnya digelar sebulan sekali di depan Grha Sabha Pramana (GSP), sampai akhirnya dibuat menjadi satu minggu sekali karena animo dari penikmat jazz.

“Hampir setahun lebih kami menyelanggarakan Jazz on the Street ini, sampai pada akhirnya acara ini pindah ke kafe Big Belly. Kami ingin membuat image bahwa setiap hari Senin adalah malam untuk jazz,” ungkap Bion.
Pindah dari kafe ke kafe itu sudah biasa, akhirnya mereka terakhir bermain di kafe De’Klik dan mulai bangkit lagi.

“Minggu pertama kafe masih sepi, tapi setelah minggu-minggu berikutnya penikmat jazz sudah mulai muncul. Dan di sana malah jadi tempat ngejam berbagai aliran musik. Ada reggae, indie, bahkan rock juga ada,” kata Bion.

Jogja memang punya sumber daya manusia yang berlimpah dalam hal kesenian, termasuk juga musik jazz. Itulah yang membuat Jogja tetap nomor satu di banyak festival yang diselenggarakan. Selain itu juga, musisi Jogja ketika bermain musik juga mengandalkan estetika dan juga cara menyampaikan tema.

“Sebab jazz itu sebagai media. Saya mengutip dari Pak Djaduk bahwa jazz itu hanya sebagai media untuk gerakan budaya melalui musik. Musik jazz adalah musik demokratis tetapi tetap tidak dari akarnya. Jazz tidak hanya bisa dinikmati oleh kalangan menengah ke atas saja, tetapi semua orang juga bisa menikmati,” jelasnya.
Dalam acara Ngayogjazz Bantul 2009 yang diselenggarakan pada Sabtu (22/11) lalu di Pasar Seni Gabusan, tujuh grup dari komunitas ini telah melauncing satu album kompilasi. Untuk proyek tahun depan, mereka akan memperkenalkan musik jazz di kampus-kampus di Jogja.

“Mendengarkan musik jazz itu harus terbiasa dulu, seperti juga lagu-lagu yang ada belakangan ini. Sehingga kita bisa tahu bagaimana menikmati musik jazz,” pungkasnya.***

G. Agung Bayu Kurniawan/153070021
Continue Reading...
 

Portal Kiri Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template