Senin, 11 Januari 2010

Ketika Tukang Becak Angkat Bicara


 
Becak, sebuah kendaraan yang sangat  khas di Indonesia,   mempunyai 1 roda dibelakang dan 2 roda di muka secara berdampingan. Kendaraan yang bebas polusi ini menggunakan tenaga otot manusia sebagai penggerak utama seperti halnya sebuah sepeda. Kendaraan yang tergolong transportasi itu sempat Berjaya ditahun 60an. Kini keberadaan becak sangatlah berbeda dari pada zaman dahulu.
Adalah  Mbah Rohadi, 70 tahun, adalah seorang warga dusun Bejen Bantul yang ditemui Portalkiri Sabtu (10/1) minggu kemarin pangkalan becaknya yang terletak di perlimaan Bejen Bantul Yogyakarta. Sehari-harinya Rohadi berprofesi  sebagai seorang supir becak. Pekerjaan yang ia jalaninya sejak dari tahun 60an itu mempunyai cerita tersendiri bagi kehidupannya. Kini bersama teman-temannnya menempati pangkalan becak Simpang Lima sebagai tempat untuk menunggu seseorang yang ingin memanfaatkan jasa para pengayuh kendaraan roda tiga itu.

Ditanya perihal seluk beluk becak, Rohadi menjawab, “Becak itu pengoprasiannya mudah kok mas, seperti kita naik sepeda, namun kalu becak dia lebih membutuhkan tenaga yang lebih”. Dipasaran sendiri, becak pun banyak diperjual berlikan, becak dijual seharga mulai dari 1,5 juta sampai dengan harga 2 juta rupiah sesuai dengan bentuk dan variasinya. Berbeda untuk harga becak bekas, untuk harga becak bekas biasanya dihargai sebesar 700 ribu rupiah. Becak Rohadi pun demikian, karena ia tak kuat untuk membeli becak baru, maka ia membeli becak bekas dari temannya seharga 700 ribu rupiah. Untuk perawatan becak itu sendiri, Laki-laki yang sudah berkepala tujuh ini menuturkan ”Perawatannya sama Mas, seperti kita merawat sepeda biasa, namun becak lebih sedikit rumit dibandingkan dengan sepeda yang rodanya cuma dua”.
Suka duka
Ditanya seputar suka dukanya sebagai seorang tukang becak, Rohadi menerangkan pada Portalkiri, “Yah sukanya ketika ada orang yang memanfaatkan jasa saya Mas, duka nya ketika becak saya rusak, misalnya rantainya putus, ban nya bocor, sehingga tak bisa mengayuh dan tak dapat duit. Saya sering cari utangan ketika becak saya mengalami hal seperti itu”.
Sebelum tahun 2007, sehari-harinya ia mampu mendapatkan upah rata-rata 40ribu rupiah. Namun setelah tahun tersebut kini untuk mendapatkan uang sebesar 20 ribu pun sangatlah sulit. Hal tersebut dikarenakan, sekarang ini sudah banyak warga yang mempunyai motor dan telpon seluler. “Sekarang mas, kalau orang turun disini dari bis jarang yang memakai jasa kami, tapi malah memanfaatkan pangkalan ini untuk bertuduh sambil menunggu jemputan dari sanak saudaranya maupun temannya”, ungkap kakek yang masih mempunyai semangat tinggi dalam hidup itu. “
Jaman saya ketika masih muda dulu Mas, saya pernah mengantar seseorang dari Bantul ke Stasiun Tugu yang ada di Yogya, dan waktu itu saya diberi upah 100 rupiah. Uang sejumlah 100 rupiah itu pada aktu itu masih sangat banyak, berbeda dengan sekarang, yah mungkin sekitar 100an ribu  jika pada zaman sekarang”, ungkap Rohadi sembari mengelus-elus becak tuanya.
 “Walaupun saya ini tergolong orang yang bodo, namun karena saya giat untuk berolah raga, ya seperti membecak ini, Alhamdulillah saya diberi kesehatan sampai saat ini dari yang Maha Kuasa. Lihatlah diluarsana, para pegawai kantor yang gajinya setinggi langit, namun kerjaannya cuma duduk, dan santai-santai, terkadang malah membawa penyakit buat dirinya sendiri”, tambah Rohadi sambil menghitung penghasilannya hari itu sebesar 17 ribu rupiah.

Ketika para tukang becak berbicara politik 
Selain Rohadi, ialah Pak Kardi 45 tahun seorang yang sejak dari bangku kelas 6 SD sudah menjadi seorang tukang becak keliling. Kisahnya tak lain seperti halnya Mbah Rohadi. Kardi juga merupakan tamatan sekolah dasar yang putus sekolah. Tak terasa kini sudah 35 tahun an profesi sebagai tukang becak pangkalan Simpang Lima Bejen ia jalani. “Wah kulo niki sakniki malah ngrasakke mboten tentrem, trentem pas jaman Pak Harto rumiyin”, ungkap Kardi yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan seperti ini, “ Wah , sekarang saya itu merasa tidak tentram, saya merasakan tentram malah ketika jamannya Pak Harto dulu”.

Kondisi ekonomi sekarang menurut Kardi sangatlah mengkawatirkan.” Koruspsi yang meraja lela dimana-mana, para penguasa seakan-akan tidak memperhatikan nasib rakyatnya”tandas Bapak berusia kepala 4 itu. Kardi juga menambahkan,” Walaupun saya ini cuma dari kalangan tingkat rendah ya Mas, tapi saya juga ikut memikirkan negeri ini, melihat korupsi dimana-mana, para penguasa sibuk menghitung uangnya, dan sepertinya para penguasa sepertinya tidak memikirkan rakyat kecil seperti saya ini”.
Sebuah suara dari rakyat kecil seperti mereka, namun memberikan wawasan yang begitu nyata, dalam, bermanfaat bagi kita. Bahwasanya kita itu hidup dituntut untuk berusaha, bekerja keras dan berdoa serta pantang menyerah. (Sigid Kurniawan/153070139/A)



0 komentar:

Posting Komentar

 

Portal Kiri Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template