Senin, 11 Januari 2010

PERJALANAN HIDUP TERJAL SIMBOK GENDONG

Pasar, ketika mendengar kata itu kebanyakan orang akan bergidik jijik dan mungkin saja enggan untuk membahasnya atau bahkan untuk datang dan berbelanja di tempat itu. Sebuah potret globalisasi dimana orang memuja produk instan dan pola hidup hedonis, bahkan cenderung kunsumtif. Mungkin pasar tradisional tak lagi menarik bagi banyak orang. Berdirinya berbagai pusat perbelanjaan yang menawarkan kebersihan dan kemudahan untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari, membuat pasar tradisional semakin terpinggirkan. Di pasar tradisional ini, suasana yang ada benar-benar terbatas. Jangan harap ada pendingin ruangan, bandrol harga, keranjang belanja, atau bahkan mau lihat-lihat cewek cantik yang menjadi SPG. Bahkan sedikit lantai keramik pun akan sulit ditemukan dalam sebuah pasar tradisional.

Satu hal yang membuat saya kagum kepada simbok gendong, adalah beliau tidak memasang tarif atas jasa memanggul belanjaan kita! Menurut beberapa orang yang pernah belanja , katanya tarif sekali gendong sekitar dua ribu rupiah, yah 2000 rupiah saja sangat tidak sebanding dengan tenaga yang mereka keluarkan. Terlebih lagi jika melihat kebaya usang yang membelit tubuh kurus mereka. Namun tak jarang yang memberikan uang lebih kepada si simbok entah atas dasar apa mereka memberikan uang lebih kepada simbok gendong itu, atas dasar kasihan atau mungkin kemanusiaan.. Berat beban yang dibawa oleh si simbok tadi bisa mencapai lebih dari 50 kilogram. Apabila saya memposisikan diri sebagai beliau, dengan jumlah pendapatan (10 gendongan x Rp,4.000,-) sebesar Rp 40.000,-. Sudah cukup besar? Tentu saja cukup besar jika dalam sehari saja bisa mendapatkan uang 40.000, tetapi ketika saya pulang dari pekerjaan itu, akan ada uang pijit 30.000, uang makan sebanyak 3x sehari tidak cukup jika hanya 10.000, lalu belum lagi kebutuha yang lain, sangat kecil uang itu bagi kita, tetapi tidak untuk mereka. Bagi mereka jumlah itu sangatlah besar.
Simbok gendong, merupakan potret kebanyakan warga kelas bawah negeri ini. entah masih berapa banyak profil-profil kerja keras yang ada di sekitar kita, yang berjuang demi sekian rupiah dengan mengorbankan sekian jumlah tenaga dan waktunya. Tak jarang, apa yang dihasilkan masih jauh dari kata cukup. Dimana pemerintah saat ini?? Program-program dibuat untuk memberantas kemiskinan, tapi mana realisasinya bahakan mungkin jumlah kalanag yang kurang seberuntung kta semaikn banyak jumlahnya.
Sebuah fenomena menarik yang diceritakan Nyonya SUTI (63th), seorang buruh gendong di pasar Beringharjo Jogjakarta, kenapa saya menyebutnya sebagai nyonya, karena saya menganggap bahwa mereka adalah setara dengan kita, sama-sama makluk sempurna yang diciptakan oleh Tuhan, dan tentu saja harus kita hormati juga. “ Wong penggede (pejabat) eling rakyat mung yen ono geleme mas, rene yen mung arep coblosan wae, yen wis kepilih yo wis lali” begitu tuturnya spontan. Sebuah fenomena yang sangat menarik jika kita lihat perebutan kursi kekuasaan oleh para jutawan yang haus kekuasaan.
Mungkin sebuah pelajaran bagi para pembesar negeri ini, jika seorang buruh gendong saja dapat mengutarakan hal yang seperti itu. Nyonya SUTI bahakan tak layak dihukum penjara seperti, nek Imah pencuri 3 buah kakao yang dihukum 3 bln penjara, karena ucapannya tadi. Beliau layak mendapatkan perhatian khusus atau bahakan perlakuan khusus seperti pejabat yang jelas-jelas mencuri dan menggunakan uang rakyat yang masih bisa bebas, untuk jalan-jalan keluar negeri.





BURUH GENDONG KAUM BAWAH PEMANGGUL DERITA

 SEORANG Perempuan lusuh di ujung lorong itu sudah melewati separuh abad lebih menghisap udara di dunia penuh dengan panggung sandiwara ini. Tulang yang sudah semakin renta, dipaksakan untuk tetap berdiri kokoh menyambut semua jatah angkut yang juga akan menetukan banyaknya sisa uang untuk dibawa pulang. Tanggung jawab menjadi cambuk untuknya terus bersemangat walau kadang bebang terlalu berat untuk mereka. Bahkan tak hanya beban berat yang mereka gendong, derita berat yang mereka jalani selama ini tidak sedikitpun berkurang tetapi malah bertambah berat.
Dari sebuah sumber media cetak bertaraf nasional saya mendapatkan fakta yang cukup mengejutkan.. Penghasilan harian yang dulu pernah saya tulis sebanyak Rp 40.000,- rupanya cukup sulit diperoleh dalam masa sulit seperti sekarang, paling-paling juga hanya separo, itupun jika keberuntungan menggelayuti gendongan si mbok. Kebutuhan hidup yang semakin mencekik membuat para buruh gendong di pasar Beringharjo harus mengubah pola makan. Jika orang kaya mengatur pola makan demi menghindari penyakit, simbok-simbok ini mengatur pola makan demi melanjutkan hidup, yah sebuah kesenjangan yang sangat mencolok. Menu harian yang tadinya berupa nasi sayur dan sepotong tempe atau tahu dihargai Rp 1.500,-. Kini cuma bisa digunakan untuk makan nasi sayur saja, tanpa lauk. Semua itu mereka lakukan karena pendapatan harian masih harus dibagi dengan biaya transportasi kerena kebanyakan dari merka bukan berasal dari kota jogja melainkan dari kota-kota sekitar jogja yaitu Kulon Progo sebagai wakil dari provinsi DIY, dan juga Boyolali, Sukoharjo, Klaten yang ketoganya terletak di Provinsi jawa tengah dan seharipun bisa melahap jumlah Rp 6.000,- dari kantong mereka. Sisanya untuk sekolah anak, dan membiayai keluarga yang menjadi tanggungan mereka serta konsekuensi dari pekerjaan yang mereka ambil.
Jika orang bilang negeri kita sedang dalam masa susah, lalu apa kabar dengan setumpuk uang yang ada di berankas orang-orang kaya di negeri ini, mungkin itu juga belum termasuk dengan deposito mereka di bank yang mungkin saja mencapai nominal Milyar, yang bahkan mimpi saja tidak terpikirkan bagi para pekerja buruh gendong ini. Mimik sedih atau bahkan air mata para penguasa negara mungkin hanya sebagian dari skenario parodi yang sedang mereka mainkan. Memang sangat tak bijak bila mengatakan mereka itu sedang ditimpa sial. Tapi apa mau dikata, mereka itu sekali lagi cuma tumbal atas parodi kekuasaan negeri koruptor ini.



SEJENAK MENJADI ARTIS


Bukan karena lelah bekerja di pasar atau bahakan bosan dengan pekerjaan menggendong mereka. Para buruh gendong pada tanggal 11 Desember 2009 lalu sejenak menjadi artis, dalam rangka pembukaan BIENALE X, JOGJA JAMMING. Sebuah acara perhelatan karya seni dari para seniman jogja. Acara yang di buka langsung oleh menteri Kebudayaan dan Periwisata Jero Wacik ini menghadirkan para buruh gendong, sebagai salah satu pengisi acara dalam acara pembukaan tersebut. Mereka menggendong beban seperti pekerjaan mereka. Namun ada yang berbeda disini, setiap karung yang mereka bawa bergambarkan karikatur dari para pembesar, bahkan karikatur dari bapak Jero Wacik juga ada. Wajah sumringah dan tanpa beban menghiasi muka keriput mereka. Sebuah senyum simpul sempat terekam saat mata kamera saya mangarah pada mereka. Mereka??, yah karena jumlah mereka yang ytidak sedikit, ada sekitar sepuluh orang yang berpartisipasi dalam acara tersebut, saya pun tidak tau pasti berpa banyak mereak di bayar, namun senyum penuh harap senantiasa menghiasi wajah mereka. Sejenak saya perhatikan kadang canda juga terlempar diantar mereka yang sedang menunggu giliran untuk tampil di depan menteri. Penuh harap juga terpancar dari seorang buruh, yang entah apa yang mereka pikirakan, mungkin saja yang mereka pikirkan, berapa mereka di bayar untuk acara itu. Namun wajah serius juga terpancar ketika buruh gendong di panggil untuk tampil, bak artis kenamaan ibukota mereka berlenggak-lenggok sama persis dengan skenario yang sudah dibuat oleh panitia. Yah mungkin saja bagi mereka hal itu bukan hanya sebagai bagian dari pekerjaan saja akan tetapi bisa juga menjadi sarana sejenak melaepas beban berat yang menggelayuti mereka.

Oleh
G. Agung Bayu Kurniawan
153070021

0 komentar:

Posting Komentar

 

Portal Kiri Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template